Selasa, 02 Januari 2018

AKU PULANG






 MENGENANG:

Suatu siang, ketika dia pergi untuk selama-lamanya,
2 Januari 2006

Beberapa hari ini perasaanku terasa lain. Ada yang mengganjal tak tentu. Entah perasaan apa. Tadi saja aku hampir terlambat berangkat kerja, gara-gara bangun kesiangan. Semangkuk mie rebus plus telur berhasil kupaksakan mengisi lambungku. Porsi itu biasa didapat dari sebuah warung dekat pabrik tempatku bekerja. Lumayan untuk modal energi beraktivitas hari ini sampai aku mengisinya lagi saat waktu makan siang tiba.
Hari senin, hari yang malas. Bukan harinya. Tapi bagi kebanyakan orang akan merasakan  hal sama. Mungkin setelah kemarin libur, kemudian bekerja lagi, rasanya harus mengumpulkan energi dan semangat baru untuk memulai hari. Tapi luruskan saja niat. Bekerja adalah ibadah. Mengharap ridho Allah. Memang secara realitas tidak dapat dipungkiri, ujung-ujungnya yang dicari adalah duit. Akan tetapi kalau hanya duit yang jadi tujuan utama, apa yang terjadi jika duit habis. Sedang seabreg kebutuhan masih menunggu untuk segera diselesaikan. Yang tersisa hanya keluh kesah. Menyesali diri. Pesimis, beserta rentetan penyakit hati yang siap menyiksa diri. Beda kalau ridho Allah yang dinanti, kita tak akan terlalu kecewa dengan gaji yang kecil, sementara kebutuhan semakin mencekik. Prestasi yang buruk padahal kita sudah berusaha bekerja dengan baik. Ada ataupun tak ada atasan. Kembalikan semua pada Allah. Dia yang lebih tahu apa yang terbaik buat kita. Disamping itu juga bukankah memenuhi kebutuhan keluarga juga termasuk amal saleh jika dilakukan dengan benar.
Ada apa dengan hari ini. Beberapa kali aku melakukan kesalahan dalam pekerjaanku. Sampai sekitar jam dua sore aku dipanggil atasanku, karena ada telepon untukku. Jarang sekali aku mendapat telepon ketika sedang bekerja. Keluarga atau teman lebih sering menghubungi aku melalui ponsel. Tentunya saat sedang tidak bekerja, karena aku pegawai pabrik yang tentunya menyimpan barang-barangnya termasuk ponsel dalam locker pribadinya. Perlahan telepon kuangkat setelah menunggu beberapa saat. Didepanku berdiri Pak Amir, staff supervisor dibagian tempatku bekerja. Ada sorot mata yang aneh.
“Assalamua’alaikum….”.
Aku memulai pembicaraan.
“Wa’alaikum salam…”.
Suara dari telepon terdengar menjawab salamku. Dan aku kenal suara itu, suara Kang Anto. Kakakku yang bekerja di Jakarta.
“Anjar, kamu bisa pulang kampung sekarang !?”.
Antara sebuah perintah dan permintaan. Kalimat yang diucapkan Kang Anto membuat beraneka macam pertanyaan. Bergelantungan didalam benakku.
“Ada apa…?”
 Agak terkejut aku menjawab. Apa yang terjadi.
“Pulang kampung sekarang, Bapak meninggal tadi siang”.
Kata-kata kakakku jelas tanpa basa-basi, benar benar membuat aku limbung. Terlalu umum dengan pepatah bagai petir disiang hari. Seperti ada beban berat yang menekan kepalaku, dan aku jatuh terduduk dikursi disamping meja telefon. Sedang tangan kananku masih melekatkan gagang telepon ditelinga kananku. Bibirku sesaat kelu. Mataku terpejam. Sesak.
“Innalillahi wa inna illaihi rooji’uun”.
Bisikku lirih, lirih sekali. Tak tahu apa ucapanku bisa terdengar oleh Pak Amir ataupun Kang Anto yang berada diseberang.
”Hallo….hallo…Anjar, istighfar…hallo…”. Nada suara Kang Anto terdengar khawatir, ketika aku masih diam tak bicara apa-apa lagi.
“Ya…Kang”.
Aku berusaha  bersuara walau terdengar pelan dan berat. Air mata yang kucoba tahan tak terbendung lagi, kemudian mengalir menganak sungai membasahi pipi. Pak Amir memegang pundakku sambil mencoba menghibur.
“Kamu bisa pulang sekarang khan, Kang Anto sekarang lagi beli tiket bis, naik dari Kali Deres”
“Ya….”.
“Hati-hati…”.
**
Hanya dengan beberapa pakaian yang aku masukkan dalam tas secara terburu-buru, Aku langsung menuju agen tempat pembelian tiket bis. Semoga masih ada bis yang menuju Ponorogo sore ini juga. Dan saat hanya tinggal satu bis kelas VIP yang akan berangkat dari Bekasi ke Ponorogo, aku tak banyak menawar. Aku hanya ingin cepat pulang. Pulang untuk melihat tubuh bapak yang terakhir kalinya. Walau mungkin terlambat……

 Bis yang aku tumpangi bertolak dari tempat pembelian tiket tepat pukul empat sore. Padahal jadwal pemberangkatan yang tercantum pada tiket bis adalah jam tiga sore. Molor satu jam. Suatu hal yang sudah tak asing lagi di Indonesia, jam karet. Namun ada untungnya juga dengan keterlambatan itu, aku bisa sholat ashar di mushola kecil di agen bis. Tidak sambil duduk didalam bis, yang dianggap aneh oleh sebagian orang. Bis tetap melaju. Penumpang yang hanya separuh isi dan jalanan yang agak lengang tetap mendorong kendaraan terus menyusuri jalan-jalan beraspal.  Semakin melaju. Pandanganku beredar keseluruh penjuru. Diantara tatap-tatap mata orang yang sibuk dengan pikirannya masing-masing. Kemudian mataku beralih keluar jendela. Melihat bangunan-bangunan tinggi, pohon-pohon dan semuanya tampak berlari menjauh. Aku tak beralih menatap keluar jendela. Mengumumkan duka pada angin yang berhembus bertubrukan dengan laju bis. Sampai akhirnya semua yang terlihat mulai tampak suram. Seiring dengan beranjaknya surya menaiki peraduannya. Semakin riuh dijalan raya. Simpang siur kendaraan berlalu lalang. Tanpa pernah tahu perasaanku penuh duka.

Deru mesin-mesin kendaraan yang menyebabkan polusi udara, masih mengoyak kebisingan jalan. Air mata menetes lagi dari kelopak mata. Padahal aku sudah mencoba menahannya untuk tidak keluar. Akan tetapi gagal, benda-benda itu terus meluncur melalui pipi. Dan secepatnya aku akan menghapusnya dengan kedua telapak tanganku, jika butirannya sampai kepipi. Aku duduk di bangku sendirian. Dan mungkin tak ada yang melihat air mataku mengalir.

Cirebon, 19.26
Suara deru mesin masih seperti tadi mengucapkan selamat tinggal pada terang.  Malam telah menutup semua pandangan. Seperti menggelapkan hatiku yang sedang sedih. Kerdip-kerdip lampu malam menghias ditiap sudut kegelapan. Tapi tak ada yang sedang menghias hatiku. Aku terus mencoba menahan rasa yang menekan dada, dengan sedikit dzikir-dzikir sepi yang mengalun. Membumbung keangkasa. Beriring dengan aliran darahku.
Dalam usiaku yang berada didunia selama dua puluh satu tahun. Aku merasa baru kemarin berada dalam belaian hangat ibu. Dalam peluk bapak. Bermanja. Namun sekarang semuanya sudah tak ada seperti waktu yang terus menghilang, tak pernah mau menengok kebelakang lagi. Bapak juga telah pergi, menyusul ibu yang telah mendahuluinya sembilan tahun yang lalu. Disaat aku masih ingin bermimpi dalam dekapannya.
Bapak dan ibu telah menghadap kepada Penciptanya. Dan aku belum bisa berbuat apa-apa untuk berbakti pada mereka. Air mataku setetes keluar lagi. Kemudian muncul bayangan wajah bapak dan ibu bergantian.
“Ngelamun saja mas….?”.
Sebuah suara yang dibentuk oleh aksen vokal seorang lelaki membuyarkan segala bayangan yang sempat menghampiri. Sesosok laki-laki berumur kira-kira tiga puluh tahunan kini duduk disampingku, bangku yang sejak tadi memang kosong. Aku masih ingat tadi sore, aku sempat melihatnya duduk dibangku belakang bersama seorang wanita dan dua orang anak kecil. Mungkin mereka istri dan anak-anaknya.
“Eh, nggak apa-apa kok Mas !”.
Aku berusaha menyembunyikan kesedihanku.
“Sejak naik bis tadi, saya lihat Mas itu kok kelihatan sedih terus to ?”.
Katanya ramah,rupanya ada yang melihat kesedihanku.
“Nggak apa-apa kok”.
“Jangan bohong Mas !”.
Lelaki asing itu terus mendesakku.
“Tadi siang, saya dapat telepon bapak saya meninggal”.
 Akupun berkata jujur pada lelaki itu.
“Innalillahi wa inna illaihi rooji’uun”.
Laki-laki itu diam sejenak. Memandang kosong. Seperti ada yang dipikirkan. Tapi aku tak berani balas mengorek keterangan darinya.
“Sudah nggak usah sedih lagi, berdoa saja semoga beliau diterima disisi Gusti Allah yang sabar ya !”.
Laki-laki itu tersenyum ramah dan menepuk pundakku. selanjutnya kamipun terlibat pada obrolan-obrolan kecil. Sampai aku sedikit terhibur agak lupa dengan kesedihanku. Setidaknya untuk beberapa saat.
“Langit gelap banget mungkin sebentar lagi hujan turun. Ya sudah saya kembali kebelakang dulu ya Mas, jangan melamun terus”.
Laki-laki yang ternyata bernama Arif itu bangkit dari duduknya dan kembali bersama keluarganya dibangku belakang. Bangku disampingku kosong lagi seperti semula. Aku coba melihat keluar jendela. Memang mendung tampak menggantung dilangit kelam dan siap runtuh menimpa bumi.

Tegal, 21.05
Hawa terasa semakin dingin dan akupun mematikan tombol ac yang berada diatas tempat dudukku. Kalau sedang kalut begini biasanya pelarianku adalah mengepul-ngepulkan asap rokok dari mulut dan hidungku ke udara. Tapi kali ini tak mungkin, aku sedang berada dalam bis kelas PATAS AC, yang pastinya dilarang merokok. Petir menyambar-nyambar diiringi suara gemuruh dilangit. Sepintas suasana terlihat terang oleh cambuk-cambuk alam bertegangan ekstra tinggi. Menyambar memperlihatkan kekuatannya. Kemudian dari langit setetes demi setetes air berjatuhan semakin lebat dan deras mengguyur bumi. Seperti yang telah diperkirakan oleh Mas Arif tadi.
Aku memakai selimut fasilitas bis yang sejak tadi aku taruh disandaran kursi,  kakiku kutarik keatas kursi dan mendekapnya. Udara dingin menyerang. Padahal mungkin semua pendingin dalam bis telah dimatikan. Aku mencoba memperhatikan sekelilingku. Sunyi. Hanya beberapa penumpang saja yang masih ngobrol ngalor-ngidul. Sementara yang lain sudah ada  yang terlelap dalam mimpinya. Tak perduli bis yang tetap melaju menembus jalan beraspal dan hujan lebat. Menggigil dan kedinginan. Ada juga yang masih terjaga bermain dengan rasa kantuk yang hampir menguasai dirinya. Sampai ada yang hanya menatap kosong keluar jendela. Mempermainkan kaca jendela yang berembun oleh air hujan. Seperti apa yang aku lakukan.
Aku meraih plastik berisi beberapa kue. Kemudian perlahan menyuapkannya kemulutku bersama beberapa teguk air mineral yang aku beli dari seorang pedagang asongan yang masuk dalam bis sebelum bis berangkat tadi sore. Perutku terasa lapar, sejak makan siang dipabrik belum ada sesuatupun yang masuk mengganjal kantung lambungku. Padahal kupon makan hanya bisa ditukar ditempat peristirahatan didaerah dekat Semarang.
‘Hati-hati Le, jangan sampai lupa sama Gusti Allah!’ Kata-kata itu tiba-tiba terngiang kembali. Masih seperti yang dulu saat aku akan berangkat memulai kehidupanku diluar kota. Wajah tua bapak memerah seperti hendak menangis. Tubuhnya yang dulu kekar mulai keriput dan kurus termakan usia. Aku memeluknya erat, setelah sekian lama tak ada dalam dekapnya. Paling tidak semenjak aku beranjak dewasa. Yang tak perlu bermanja-manja untuk menghadapi dunia sebagai seorang anak lelaki. Tapi tanpa pelukan itupun berlanjut dengan kebisuanku. Kebisuan yang kini membuat aku semakin merasa bersalah. Yaitu, saat bapak berencana menikah lagi diusianya yang akan mengakhiri kepala empat. Atau tepatnya saat aku duduk dikelas dua es-em-pe. Waktu itu aku yang paling tidak bisa menerima. Tapi semuanya tak berpengaruh, toh akhirnya bapak tetap menikah juga dengan wanita pilihannya. Kedua kakakku yang semula menolak  telah mengiyakan. Hanya aku si bungsu yang tak bisa berbuat apa-apa. Aku tak mau posisi ibuku digantikan oleh siapapun juga. Bapak menghianati cinta ibuku. Pikirku saat itu. Tanpa aku pernah mengerti bapak kesepian tanpa seorang pendamping. Apalagi saat usia senja mulai menghampirinya dan anak-anaknya telah beranjak dewasa. Aku terlalu egois. Sehingga aku merasa kecewa dengan dengan keputusan bapak. Dan setelah itu, aku dan bapak seperti ada pembatas maya yang tak terlihat oleh mata. Tapi tetap terasa. Dia seperti orang asing dimataku. Tak ada kebencian, hanya aku dan beliau semakin asing. Entah apa aku yang memulai semua keasingan itu. Hanya sepatah dua patah kata yang terucap bila aku bertemu dengannya. Itupun jikalau ada hal penting yang memang perlu dibicarakan. Tak tahu kenapa aku menjadi dingin seperti itu. Dan hal itu berlangsung bertahun-tahun. Tak pernah kusadari bahwa dulu, akulah sibungsu yang selalu lengket dengan sang bapak. Kemudian, semua menjadi kaku. Seperti air yang membeku.

Kendal, 00.32
Aku membuka mata lebar, setelah tadi sempat terkantuk kantuk. Bis agak berguncang merayap pada jalan yang tak beraspal. Rupanya rombongan kami telah sampai diperistirahatan rumah makan didaerah Kendal, Jawa Tengah. Kulirik jam tangan yang terpasang ditangan kiriku. Dalam keremangan terlihat bahwa waktu telah berada tiga puluh lima menit beranjak dari tengah malam. Banyak penumpang mengeluh. Waktu makan malam mundur pada dini hari. Mungkin bis terlambat karena jalanan yang licin tersiram oleh air yang jatuh dari langit. Deras mengguyur bumi. Ya, lebih baik terlambat daripada harus celaka. Selera makanku hampir hilang. Namun kusempatkan makan beberapa sendok jatah makanan yang disediakan. Kemudian menuju mushola untuk mengerjakan sholat jama’ Isya’ dan Maghrib sekaligus.
Yaa Allah terimalah kedua orang tuaku ditempat yang sebaik-baiknya tempat-Mu. Sayangilah mereka seperti mereka menyanyangiku diwaktu kecil.
Mataku berair lagi saat doa-doa aku lantunkan. Aku benar-benar menyesali kehidupanku.  Aku tumbuh menjadi manusia yang tak punya bakti pada orang tua. Aku belum  bisa berbuat lebih. Dan kini aku hanya  bisa menyesal dan tinggal berdoa.

Solo, 02.57
Bis tetap melaju. Memecah dinginnya pagi yang masih buta. Dendang suara mesin bis pekak, meraung-raung menyusuri jalan yang basah. Sunyi dalam bis. Mungkin semua orang telah sibuk dengan alam impiannya masing-masing. Mungkin hanya aku dan si sopir yang tetap terjaga. Kalau Sopir memang sengaja tidak tidur karena menjalankan tugasnya. Tapi kalu aku memang belum bisa memejamkan mata. Rasa penyesalan memenuhi rongga dadaku. Membuat sesak. Hampir dua tahun aku belum sempat melihat wajah bapak. Hanya kadang aku menghubungi beliau melalui pesawat telepon tetangga dikampung. Itupun kalau aku sudah sangat kangen. Aku terlalu sibuk dengan usahaku menjadi orang yang berhasil. ‘Berhasil didunia dan akhirat’, itulah harapan bapak, yang kerap dikidungkan saat aku kecil. Aku berusaha memenuhinya. Walau sekarang belum berhasil. Dan lebih tak berhasil ketika menjadi seorang anak yang tak bisa berbakti pada orang tuanya. Aku tak pernah tahu kenapa aku tak bisa menunjukkan rasa sayangku pada bapak. Semua tertutup gumpalan salju yang membekukan hati.
Ya Allah…. Ampuni aku !.
Aku tak pernah membencinya. Aku sangat sayang sama bapak !.

Ponorogo, 07.20
Bis yang aku tumpangi memasuki Ponorogo. Kota yang tekenal dengan kesenian khas Reog. Penumpang tinggal lima orang dan rute bis akan selesai dipemberhentian terakhir di terminal Ponorogo. Dari Sragen, Klaten, dan Ngawi sudah banyak penumpang yang turun. Tapi lebih banyak penumpang yang turun di Terminal Purabaya Madiun.
Aku memandangi jalan-jalan yanga tampak dari kaca. Sudah banyak orang dan kendaraan yang terlihat. Setelah turun dari bis nanti, aku akan naik ojek untuk sampai dirumah. Karena dengan sepuluh menit perjalanan motor, rumahku sudah akan tampak dihadapanku.
Didepan sebuah gedung sekolah yang terletak dijalan raya aku turun dari bis yang telah membawaku dari Bekasi. Kemudian menyeberang menuju pangkalan ojek. Tapi tiba-tiba sebuah sepeda motor berkecepatan tinggi melaju kearahku dan menabrakku. Aku terpental beberapa meter. Motor yang menabrakku tak perduli dan tetap melaju kencang. Antara sadar dan tak sadar banyak orang yang mengerumuniku. Rasa nyeri terasa dikepalaku. Dan semua menjadi gelap, gelap sekali dalam pandanganku. Aku tak ingat apa-apa lagi.
Tubuhku terasa ringan. Ringan sekali seperti kapas. Melayang-layang terguncang oleh angin. Aku bingung aku berada dimana. Apakah aku sudah mati. Tempat apa ini. Sayup-sayup kudengar ada suara memanggilku. Samar, terlihat dua sosok tubuh berbalut kain berwarna putih bersih. Subbhanallah… itu adalah bapak dan ibu. Mereka terseyum melihatku. Aku ingin menggapai tangan ibu yang hendak mendekatiku. Tapi kemudian sosoknya menghilang. Tanpa bekas. Aku berteriak memanggilnya. Begitu juga saat ingin kuraih tangan bapak. Tubuhnyapun lenyap. Tanpa tahu kemana perginya.
“Bapak….ibu……”. Aku mencoba memanggil berulang-ulang. Tapi percuma, Hening tak ada suara sama sekali. Bahkan anginpun tak membisikkan hembusannya. Perlahan mataku terbuka lebih lebar. Suasana berubah. Aku merasa ada banyak orang berada disekitarku. Aku memegangi kepalaku yang berbalut kain, mungkin perban. Masih terasa nyeri dikepalaku.
“Njar, kamu sudah sadar ?”.
Aku menatap lekat asal suara itu. Terlihat sosok Mbak Ningrum. Kakak sulungku yang merawat bapak. Matanya memerah.
“Kamu baru dibawa pulang dari ‘puskesmas’ Njar, hanya tinggal menuggu kamu sadar dari pingsan”.
Kualihkan pandanganku keasal suara ini. Kang Anto. Rupanya dia telah sampai dikampung lebih dulu.
“Bapak…”.
Bisikku lirih. Air mata yang tidak diperintahkan keluar mengucur dari kelopak mataku. Mbak Ningrum merangkulku dan ikut terisak.
“Sabar ya, Njar !”.
Pelan suaranya disela air mata yang mengalir. Kang Anto memegangi tubuhku. Air matanyapun menetes, walau dia kelihatan yang paling tegar. Sejenak suasana mengharu kemudian diakhiri oleh para tetangga yang menyalamiku.
            Sebenarnya aku ingin sekarang juga mengunjungi bapak yang telah dimakamkan kemarin. Tapi semua melarang, melihat kondisiku masih lemah. Baru esok paginya aku bisa pergi ke pemakaman, ditemani Kang Anto dan Mbak Ningrum. Angin semilir menerpa tubuhku ketika kuayunkan langkah kaki memasuki tempat peristirahatan manusia terakhir ini. Area yang dipagari oleh pohon-pohon rindang. Makam-makam berjajar tak beraturan. Ada yang terawat dan ada pula yang tak terawat. Hening. Seolah tempat ini sebuah tempat yang paling damai. Kami menghampiri sebuah makam yang masih baru. Diatasnya bertabur bunga-bunga yang masih mewangi bisu. Pada nisan makam itu terukir sebuah nama. Nama bapak. Sedang disampingnya adalah makam ibu yang sudah tertidur disitu sejak sembilan tahun yang lalu. Aku jatuh terduduk memegangi nisan bapak. Aku mencoba tak menangis lagi. Akan tetapi tenaga benda-benda bening di kelopak mataku itu begitu kuat, hingga ada beberapa tetes yang jatuh.
Bapak aku pulang !. Batinku tersayat mengingat semuanya. Terlebih ketidak baktianku selama ini.
“Ya Allah ampuni aku”. Aku terisak lagi.
Mbak Ningrum dan Kang Anto mencoba menenangkan. Perlahan kutaburkan bunga-bunga diatas gundukan tanah merah. Rumah bapak dan ibu. Doa-doa terlantun memenuhi semilir sudut-sudut makam. Ditengah derai - derai melodi ranting dan daun yang saling bergesekan. 

I love you, Dad!
ALLAHUMMAGHFIRLI DZUNUBI WALIWALIDAYYA WARHAMHUMA KAMA ROBBAYANI SOGHIRO

Tidak ada komentar:

Posting Komentar