Selasa, 02 Januari 2018

AKU PULANG






 MENGENANG:

Suatu siang, ketika dia pergi untuk selama-lamanya,
2 Januari 2006

Beberapa hari ini perasaanku terasa lain. Ada yang mengganjal tak tentu. Entah perasaan apa. Tadi saja aku hampir terlambat berangkat kerja, gara-gara bangun kesiangan. Semangkuk mie rebus plus telur berhasil kupaksakan mengisi lambungku. Porsi itu biasa didapat dari sebuah warung dekat pabrik tempatku bekerja. Lumayan untuk modal energi beraktivitas hari ini sampai aku mengisinya lagi saat waktu makan siang tiba.
Hari senin, hari yang malas. Bukan harinya. Tapi bagi kebanyakan orang akan merasakan  hal sama. Mungkin setelah kemarin libur, kemudian bekerja lagi, rasanya harus mengumpulkan energi dan semangat baru untuk memulai hari. Tapi luruskan saja niat. Bekerja adalah ibadah. Mengharap ridho Allah. Memang secara realitas tidak dapat dipungkiri, ujung-ujungnya yang dicari adalah duit. Akan tetapi kalau hanya duit yang jadi tujuan utama, apa yang terjadi jika duit habis. Sedang seabreg kebutuhan masih menunggu untuk segera diselesaikan. Yang tersisa hanya keluh kesah. Menyesali diri. Pesimis, beserta rentetan penyakit hati yang siap menyiksa diri. Beda kalau ridho Allah yang dinanti, kita tak akan terlalu kecewa dengan gaji yang kecil, sementara kebutuhan semakin mencekik. Prestasi yang buruk padahal kita sudah berusaha bekerja dengan baik. Ada ataupun tak ada atasan. Kembalikan semua pada Allah. Dia yang lebih tahu apa yang terbaik buat kita. Disamping itu juga bukankah memenuhi kebutuhan keluarga juga termasuk amal saleh jika dilakukan dengan benar.
Ada apa dengan hari ini. Beberapa kali aku melakukan kesalahan dalam pekerjaanku. Sampai sekitar jam dua sore aku dipanggil atasanku, karena ada telepon untukku. Jarang sekali aku mendapat telepon ketika sedang bekerja. Keluarga atau teman lebih sering menghubungi aku melalui ponsel. Tentunya saat sedang tidak bekerja, karena aku pegawai pabrik yang tentunya menyimpan barang-barangnya termasuk ponsel dalam locker pribadinya. Perlahan telepon kuangkat setelah menunggu beberapa saat. Didepanku berdiri Pak Amir, staff supervisor dibagian tempatku bekerja. Ada sorot mata yang aneh.
“Assalamua’alaikum….”.
Aku memulai pembicaraan.
“Wa’alaikum salam…”.
Suara dari telepon terdengar menjawab salamku. Dan aku kenal suara itu, suara Kang Anto. Kakakku yang bekerja di Jakarta.
“Anjar, kamu bisa pulang kampung sekarang !?”.
Antara sebuah perintah dan permintaan. Kalimat yang diucapkan Kang Anto membuat beraneka macam pertanyaan. Bergelantungan didalam benakku.
“Ada apa…?”
 Agak terkejut aku menjawab. Apa yang terjadi.
“Pulang kampung sekarang, Bapak meninggal tadi siang”.
Kata-kata kakakku jelas tanpa basa-basi, benar benar membuat aku limbung. Terlalu umum dengan pepatah bagai petir disiang hari. Seperti ada beban berat yang menekan kepalaku, dan aku jatuh terduduk dikursi disamping meja telefon. Sedang tangan kananku masih melekatkan gagang telepon ditelinga kananku. Bibirku sesaat kelu. Mataku terpejam. Sesak.
“Innalillahi wa inna illaihi rooji’uun”.
Bisikku lirih, lirih sekali. Tak tahu apa ucapanku bisa terdengar oleh Pak Amir ataupun Kang Anto yang berada diseberang.
”Hallo….hallo…Anjar, istighfar…hallo…”. Nada suara Kang Anto terdengar khawatir, ketika aku masih diam tak bicara apa-apa lagi.
“Ya…Kang”.
Aku berusaha  bersuara walau terdengar pelan dan berat. Air mata yang kucoba tahan tak terbendung lagi, kemudian mengalir menganak sungai membasahi pipi. Pak Amir memegang pundakku sambil mencoba menghibur.
“Kamu bisa pulang sekarang khan, Kang Anto sekarang lagi beli tiket bis, naik dari Kali Deres”
“Ya….”.
“Hati-hati…”.
**
Hanya dengan beberapa pakaian yang aku masukkan dalam tas secara terburu-buru, Aku langsung menuju agen tempat pembelian tiket bis. Semoga masih ada bis yang menuju Ponorogo sore ini juga. Dan saat hanya tinggal satu bis kelas VIP yang akan berangkat dari Bekasi ke Ponorogo, aku tak banyak menawar. Aku hanya ingin cepat pulang. Pulang untuk melihat tubuh bapak yang terakhir kalinya. Walau mungkin terlambat……

 Bis yang aku tumpangi bertolak dari tempat pembelian tiket tepat pukul empat sore. Padahal jadwal pemberangkatan yang tercantum pada tiket bis adalah jam tiga sore. Molor satu jam. Suatu hal yang sudah tak asing lagi di Indonesia, jam karet. Namun ada untungnya juga dengan keterlambatan itu, aku bisa sholat ashar di mushola kecil di agen bis. Tidak sambil duduk didalam bis, yang dianggap aneh oleh sebagian orang. Bis tetap melaju. Penumpang yang hanya separuh isi dan jalanan yang agak lengang tetap mendorong kendaraan terus menyusuri jalan-jalan beraspal.  Semakin melaju. Pandanganku beredar keseluruh penjuru. Diantara tatap-tatap mata orang yang sibuk dengan pikirannya masing-masing. Kemudian mataku beralih keluar jendela. Melihat bangunan-bangunan tinggi, pohon-pohon dan semuanya tampak berlari menjauh. Aku tak beralih menatap keluar jendela. Mengumumkan duka pada angin yang berhembus bertubrukan dengan laju bis. Sampai akhirnya semua yang terlihat mulai tampak suram. Seiring dengan beranjaknya surya menaiki peraduannya. Semakin riuh dijalan raya. Simpang siur kendaraan berlalu lalang. Tanpa pernah tahu perasaanku penuh duka.

Deru mesin-mesin kendaraan yang menyebabkan polusi udara, masih mengoyak kebisingan jalan. Air mata menetes lagi dari kelopak mata. Padahal aku sudah mencoba menahannya untuk tidak keluar. Akan tetapi gagal, benda-benda itu terus meluncur melalui pipi. Dan secepatnya aku akan menghapusnya dengan kedua telapak tanganku, jika butirannya sampai kepipi. Aku duduk di bangku sendirian. Dan mungkin tak ada yang melihat air mataku mengalir.

Cirebon, 19.26
Suara deru mesin masih seperti tadi mengucapkan selamat tinggal pada terang.  Malam telah menutup semua pandangan. Seperti menggelapkan hatiku yang sedang sedih. Kerdip-kerdip lampu malam menghias ditiap sudut kegelapan. Tapi tak ada yang sedang menghias hatiku. Aku terus mencoba menahan rasa yang menekan dada, dengan sedikit dzikir-dzikir sepi yang mengalun. Membumbung keangkasa. Beriring dengan aliran darahku.
Dalam usiaku yang berada didunia selama dua puluh satu tahun. Aku merasa baru kemarin berada dalam belaian hangat ibu. Dalam peluk bapak. Bermanja. Namun sekarang semuanya sudah tak ada seperti waktu yang terus menghilang, tak pernah mau menengok kebelakang lagi. Bapak juga telah pergi, menyusul ibu yang telah mendahuluinya sembilan tahun yang lalu. Disaat aku masih ingin bermimpi dalam dekapannya.
Bapak dan ibu telah menghadap kepada Penciptanya. Dan aku belum bisa berbuat apa-apa untuk berbakti pada mereka. Air mataku setetes keluar lagi. Kemudian muncul bayangan wajah bapak dan ibu bergantian.
“Ngelamun saja mas….?”.
Sebuah suara yang dibentuk oleh aksen vokal seorang lelaki membuyarkan segala bayangan yang sempat menghampiri. Sesosok laki-laki berumur kira-kira tiga puluh tahunan kini duduk disampingku, bangku yang sejak tadi memang kosong. Aku masih ingat tadi sore, aku sempat melihatnya duduk dibangku belakang bersama seorang wanita dan dua orang anak kecil. Mungkin mereka istri dan anak-anaknya.
“Eh, nggak apa-apa kok Mas !”.
Aku berusaha menyembunyikan kesedihanku.
“Sejak naik bis tadi, saya lihat Mas itu kok kelihatan sedih terus to ?”.
Katanya ramah,rupanya ada yang melihat kesedihanku.
“Nggak apa-apa kok”.
“Jangan bohong Mas !”.
Lelaki asing itu terus mendesakku.
“Tadi siang, saya dapat telepon bapak saya meninggal”.
 Akupun berkata jujur pada lelaki itu.
“Innalillahi wa inna illaihi rooji’uun”.
Laki-laki itu diam sejenak. Memandang kosong. Seperti ada yang dipikirkan. Tapi aku tak berani balas mengorek keterangan darinya.
“Sudah nggak usah sedih lagi, berdoa saja semoga beliau diterima disisi Gusti Allah yang sabar ya !”.
Laki-laki itu tersenyum ramah dan menepuk pundakku. selanjutnya kamipun terlibat pada obrolan-obrolan kecil. Sampai aku sedikit terhibur agak lupa dengan kesedihanku. Setidaknya untuk beberapa saat.
“Langit gelap banget mungkin sebentar lagi hujan turun. Ya sudah saya kembali kebelakang dulu ya Mas, jangan melamun terus”.
Laki-laki yang ternyata bernama Arif itu bangkit dari duduknya dan kembali bersama keluarganya dibangku belakang. Bangku disampingku kosong lagi seperti semula. Aku coba melihat keluar jendela. Memang mendung tampak menggantung dilangit kelam dan siap runtuh menimpa bumi.

Tegal, 21.05
Hawa terasa semakin dingin dan akupun mematikan tombol ac yang berada diatas tempat dudukku. Kalau sedang kalut begini biasanya pelarianku adalah mengepul-ngepulkan asap rokok dari mulut dan hidungku ke udara. Tapi kali ini tak mungkin, aku sedang berada dalam bis kelas PATAS AC, yang pastinya dilarang merokok. Petir menyambar-nyambar diiringi suara gemuruh dilangit. Sepintas suasana terlihat terang oleh cambuk-cambuk alam bertegangan ekstra tinggi. Menyambar memperlihatkan kekuatannya. Kemudian dari langit setetes demi setetes air berjatuhan semakin lebat dan deras mengguyur bumi. Seperti yang telah diperkirakan oleh Mas Arif tadi.
Aku memakai selimut fasilitas bis yang sejak tadi aku taruh disandaran kursi,  kakiku kutarik keatas kursi dan mendekapnya. Udara dingin menyerang. Padahal mungkin semua pendingin dalam bis telah dimatikan. Aku mencoba memperhatikan sekelilingku. Sunyi. Hanya beberapa penumpang saja yang masih ngobrol ngalor-ngidul. Sementara yang lain sudah ada  yang terlelap dalam mimpinya. Tak perduli bis yang tetap melaju menembus jalan beraspal dan hujan lebat. Menggigil dan kedinginan. Ada juga yang masih terjaga bermain dengan rasa kantuk yang hampir menguasai dirinya. Sampai ada yang hanya menatap kosong keluar jendela. Mempermainkan kaca jendela yang berembun oleh air hujan. Seperti apa yang aku lakukan.
Aku meraih plastik berisi beberapa kue. Kemudian perlahan menyuapkannya kemulutku bersama beberapa teguk air mineral yang aku beli dari seorang pedagang asongan yang masuk dalam bis sebelum bis berangkat tadi sore. Perutku terasa lapar, sejak makan siang dipabrik belum ada sesuatupun yang masuk mengganjal kantung lambungku. Padahal kupon makan hanya bisa ditukar ditempat peristirahatan didaerah dekat Semarang.
‘Hati-hati Le, jangan sampai lupa sama Gusti Allah!’ Kata-kata itu tiba-tiba terngiang kembali. Masih seperti yang dulu saat aku akan berangkat memulai kehidupanku diluar kota. Wajah tua bapak memerah seperti hendak menangis. Tubuhnya yang dulu kekar mulai keriput dan kurus termakan usia. Aku memeluknya erat, setelah sekian lama tak ada dalam dekapnya. Paling tidak semenjak aku beranjak dewasa. Yang tak perlu bermanja-manja untuk menghadapi dunia sebagai seorang anak lelaki. Tapi tanpa pelukan itupun berlanjut dengan kebisuanku. Kebisuan yang kini membuat aku semakin merasa bersalah. Yaitu, saat bapak berencana menikah lagi diusianya yang akan mengakhiri kepala empat. Atau tepatnya saat aku duduk dikelas dua es-em-pe. Waktu itu aku yang paling tidak bisa menerima. Tapi semuanya tak berpengaruh, toh akhirnya bapak tetap menikah juga dengan wanita pilihannya. Kedua kakakku yang semula menolak  telah mengiyakan. Hanya aku si bungsu yang tak bisa berbuat apa-apa. Aku tak mau posisi ibuku digantikan oleh siapapun juga. Bapak menghianati cinta ibuku. Pikirku saat itu. Tanpa aku pernah mengerti bapak kesepian tanpa seorang pendamping. Apalagi saat usia senja mulai menghampirinya dan anak-anaknya telah beranjak dewasa. Aku terlalu egois. Sehingga aku merasa kecewa dengan dengan keputusan bapak. Dan setelah itu, aku dan bapak seperti ada pembatas maya yang tak terlihat oleh mata. Tapi tetap terasa. Dia seperti orang asing dimataku. Tak ada kebencian, hanya aku dan beliau semakin asing. Entah apa aku yang memulai semua keasingan itu. Hanya sepatah dua patah kata yang terucap bila aku bertemu dengannya. Itupun jikalau ada hal penting yang memang perlu dibicarakan. Tak tahu kenapa aku menjadi dingin seperti itu. Dan hal itu berlangsung bertahun-tahun. Tak pernah kusadari bahwa dulu, akulah sibungsu yang selalu lengket dengan sang bapak. Kemudian, semua menjadi kaku. Seperti air yang membeku.

Kendal, 00.32
Aku membuka mata lebar, setelah tadi sempat terkantuk kantuk. Bis agak berguncang merayap pada jalan yang tak beraspal. Rupanya rombongan kami telah sampai diperistirahatan rumah makan didaerah Kendal, Jawa Tengah. Kulirik jam tangan yang terpasang ditangan kiriku. Dalam keremangan terlihat bahwa waktu telah berada tiga puluh lima menit beranjak dari tengah malam. Banyak penumpang mengeluh. Waktu makan malam mundur pada dini hari. Mungkin bis terlambat karena jalanan yang licin tersiram oleh air yang jatuh dari langit. Deras mengguyur bumi. Ya, lebih baik terlambat daripada harus celaka. Selera makanku hampir hilang. Namun kusempatkan makan beberapa sendok jatah makanan yang disediakan. Kemudian menuju mushola untuk mengerjakan sholat jama’ Isya’ dan Maghrib sekaligus.
Yaa Allah terimalah kedua orang tuaku ditempat yang sebaik-baiknya tempat-Mu. Sayangilah mereka seperti mereka menyanyangiku diwaktu kecil.
Mataku berair lagi saat doa-doa aku lantunkan. Aku benar-benar menyesali kehidupanku.  Aku tumbuh menjadi manusia yang tak punya bakti pada orang tua. Aku belum  bisa berbuat lebih. Dan kini aku hanya  bisa menyesal dan tinggal berdoa.

Solo, 02.57
Bis tetap melaju. Memecah dinginnya pagi yang masih buta. Dendang suara mesin bis pekak, meraung-raung menyusuri jalan yang basah. Sunyi dalam bis. Mungkin semua orang telah sibuk dengan alam impiannya masing-masing. Mungkin hanya aku dan si sopir yang tetap terjaga. Kalau Sopir memang sengaja tidak tidur karena menjalankan tugasnya. Tapi kalu aku memang belum bisa memejamkan mata. Rasa penyesalan memenuhi rongga dadaku. Membuat sesak. Hampir dua tahun aku belum sempat melihat wajah bapak. Hanya kadang aku menghubungi beliau melalui pesawat telepon tetangga dikampung. Itupun kalau aku sudah sangat kangen. Aku terlalu sibuk dengan usahaku menjadi orang yang berhasil. ‘Berhasil didunia dan akhirat’, itulah harapan bapak, yang kerap dikidungkan saat aku kecil. Aku berusaha memenuhinya. Walau sekarang belum berhasil. Dan lebih tak berhasil ketika menjadi seorang anak yang tak bisa berbakti pada orang tuanya. Aku tak pernah tahu kenapa aku tak bisa menunjukkan rasa sayangku pada bapak. Semua tertutup gumpalan salju yang membekukan hati.
Ya Allah…. Ampuni aku !.
Aku tak pernah membencinya. Aku sangat sayang sama bapak !.

Ponorogo, 07.20
Bis yang aku tumpangi memasuki Ponorogo. Kota yang tekenal dengan kesenian khas Reog. Penumpang tinggal lima orang dan rute bis akan selesai dipemberhentian terakhir di terminal Ponorogo. Dari Sragen, Klaten, dan Ngawi sudah banyak penumpang yang turun. Tapi lebih banyak penumpang yang turun di Terminal Purabaya Madiun.
Aku memandangi jalan-jalan yanga tampak dari kaca. Sudah banyak orang dan kendaraan yang terlihat. Setelah turun dari bis nanti, aku akan naik ojek untuk sampai dirumah. Karena dengan sepuluh menit perjalanan motor, rumahku sudah akan tampak dihadapanku.
Didepan sebuah gedung sekolah yang terletak dijalan raya aku turun dari bis yang telah membawaku dari Bekasi. Kemudian menyeberang menuju pangkalan ojek. Tapi tiba-tiba sebuah sepeda motor berkecepatan tinggi melaju kearahku dan menabrakku. Aku terpental beberapa meter. Motor yang menabrakku tak perduli dan tetap melaju kencang. Antara sadar dan tak sadar banyak orang yang mengerumuniku. Rasa nyeri terasa dikepalaku. Dan semua menjadi gelap, gelap sekali dalam pandanganku. Aku tak ingat apa-apa lagi.
Tubuhku terasa ringan. Ringan sekali seperti kapas. Melayang-layang terguncang oleh angin. Aku bingung aku berada dimana. Apakah aku sudah mati. Tempat apa ini. Sayup-sayup kudengar ada suara memanggilku. Samar, terlihat dua sosok tubuh berbalut kain berwarna putih bersih. Subbhanallah… itu adalah bapak dan ibu. Mereka terseyum melihatku. Aku ingin menggapai tangan ibu yang hendak mendekatiku. Tapi kemudian sosoknya menghilang. Tanpa bekas. Aku berteriak memanggilnya. Begitu juga saat ingin kuraih tangan bapak. Tubuhnyapun lenyap. Tanpa tahu kemana perginya.
“Bapak….ibu……”. Aku mencoba memanggil berulang-ulang. Tapi percuma, Hening tak ada suara sama sekali. Bahkan anginpun tak membisikkan hembusannya. Perlahan mataku terbuka lebih lebar. Suasana berubah. Aku merasa ada banyak orang berada disekitarku. Aku memegangi kepalaku yang berbalut kain, mungkin perban. Masih terasa nyeri dikepalaku.
“Njar, kamu sudah sadar ?”.
Aku menatap lekat asal suara itu. Terlihat sosok Mbak Ningrum. Kakak sulungku yang merawat bapak. Matanya memerah.
“Kamu baru dibawa pulang dari ‘puskesmas’ Njar, hanya tinggal menuggu kamu sadar dari pingsan”.
Kualihkan pandanganku keasal suara ini. Kang Anto. Rupanya dia telah sampai dikampung lebih dulu.
“Bapak…”.
Bisikku lirih. Air mata yang tidak diperintahkan keluar mengucur dari kelopak mataku. Mbak Ningrum merangkulku dan ikut terisak.
“Sabar ya, Njar !”.
Pelan suaranya disela air mata yang mengalir. Kang Anto memegangi tubuhku. Air matanyapun menetes, walau dia kelihatan yang paling tegar. Sejenak suasana mengharu kemudian diakhiri oleh para tetangga yang menyalamiku.
            Sebenarnya aku ingin sekarang juga mengunjungi bapak yang telah dimakamkan kemarin. Tapi semua melarang, melihat kondisiku masih lemah. Baru esok paginya aku bisa pergi ke pemakaman, ditemani Kang Anto dan Mbak Ningrum. Angin semilir menerpa tubuhku ketika kuayunkan langkah kaki memasuki tempat peristirahatan manusia terakhir ini. Area yang dipagari oleh pohon-pohon rindang. Makam-makam berjajar tak beraturan. Ada yang terawat dan ada pula yang tak terawat. Hening. Seolah tempat ini sebuah tempat yang paling damai. Kami menghampiri sebuah makam yang masih baru. Diatasnya bertabur bunga-bunga yang masih mewangi bisu. Pada nisan makam itu terukir sebuah nama. Nama bapak. Sedang disampingnya adalah makam ibu yang sudah tertidur disitu sejak sembilan tahun yang lalu. Aku jatuh terduduk memegangi nisan bapak. Aku mencoba tak menangis lagi. Akan tetapi tenaga benda-benda bening di kelopak mataku itu begitu kuat, hingga ada beberapa tetes yang jatuh.
Bapak aku pulang !. Batinku tersayat mengingat semuanya. Terlebih ketidak baktianku selama ini.
“Ya Allah ampuni aku”. Aku terisak lagi.
Mbak Ningrum dan Kang Anto mencoba menenangkan. Perlahan kutaburkan bunga-bunga diatas gundukan tanah merah. Rumah bapak dan ibu. Doa-doa terlantun memenuhi semilir sudut-sudut makam. Ditengah derai - derai melodi ranting dan daun yang saling bergesekan. 

I love you, Dad!
ALLAHUMMAGHFIRLI DZUNUBI WALIWALIDAYYA WARHAMHUMA KAMA ROBBAYANI SOGHIRO

Rabu, 01 November 2017

Ayo Naik KRL ......!

Tulisan ini mungkin bisa menambah wawasan anda. Atau mungkin bisa bermanfaat bagi mereka yang mau bepergian, belum pernah atau masih menggunakan commuterline atau KRL.
newbi

Oke. Kita mulai. Datang ke stasiun yang dilalui KRL Jabodetabek. Lihat gambar rutenya bila perlu. Oh ya KRL tidak berhenti di stasiun Gambir ya baik menaikkan atau menurunkan penumpang. Kamu bisa beli tiket sekali jalan a.k.a Tiket Harian Berjaminan (THB) dengan uang jaminan Rp. 10.000 yang  bisa diambil saat THB kamu kembalikan di stasiun akhir perjalananmu. Untuk kamu yang sering menggunakan KRL dalam perjalananmu coba pakai tiket terusan Kartu Multi Trip (KMT). Kamu tak perlu selalu antri beli tiket THB saat berangkat ataupun antri ambil uang jaminan setelah sampai. Harganya cuma Rp. 50.000 dengan saldo Rp. 30.000. THB ataupun tiket bisa dibeli di loket stasiun KRL. Bisa juga menggunakan kartu sejenis flazz, e money, atau tap cash. Tapi jangan lupa untuk aktifasi ya di stasiun.

Biaya naik KRL cukup murah, untuk 25 km pertama hanya Rp. 3000 dan untuk setiap 10 km berikutnya hanya menambah Rp. 1000. Tabel harga biasanya juga dipajang di stasiun.
Kalau kamu pakai THB cukup sebutkan stasiun tujuan kamu nanti petugas loket akan memberitahu berapa uang yang harus kamu bayar beserta jaminan kartu.  Kalau pakai KMT, asal saldo kamu tidak kurang dari Rp. 13.000 kamu bisa langsung menggunakan KRL.
Dibeberapa stasiun sudah tidak ada loket manual, jadi kamu harus menggunakan vending machine untuk beli THB, isi KMT ataupun pengembalian tiket untuk mengambil uang jaminan.
Bingung menggunakan alat ini, tanya petugas yang standby disana. Lain waktu saja saya tulis tentang penggunaan commuterline vending machine.

Karena tiket sudah ditangan, silahkan masuk ke peron peron stasiun. Untuk masuk ke stasiun kamu harus melewati pintu elektronik. Silahkan tap tiketnya ke mesin pembacanya di pintu elektronik.kalau TAP IN gunakan tangan kiri dan kalau sudah sampai silahkan TAP OUT menggunakan tangan kanan. Dikarenakan pintu elektroniknya menggunakan model tripod. Sehingga kalau masuk, posisi mesin pembaca kartu ada di sebelah kiri sedangkan kalau keluar, posisi mesin pembaca kartu ada di sebelah kanan.

Didalam peron stasiun perhatikan informasi peron agar kamu paham dimana kamu harus menunggu untuk naik KRL sesuai tujuanmu. Kalau kamu bingung bisa tanya ke petugas stasiun. Atau perhatikan pengumuman dan papan digital di area peron stasiun.
Saat kereta yang kamu tunggu datang segera naik saat pintu terbuka. Oh ya pintu ini otomatis terbuka dan tertutup sendiri ya, jadi jangan kaget. perhatikan larangan-larangan yang tertempel di pitu KRL. Pilih tempat duduk jika masih ada tentunya, kalau nggak kebagian ya silahkan bergelantungan di kereta. Gerbong paling depan dan paling belakang khusus untuk penumpang perempuan. Disetiap gerbong terdapat tempat duduk prioritas yang berada disetiap sudut-sudutnya. Tempat duduk ini khusus untuk penumpang ibu hamil, ibu membawa balita, manula dan penyandang disabilitas. Di dalam kereta kamu nggak akan pusing karena ada pengumuman yang disampaikan oleh petugas di setiap stasun dimana kereta akan berhenti untuk mengangkut dan menurunkan penumpang. Kamu juga bisa melihat peta rute KRL yang berada disetiap atas pintu KRL.

Peta Rute KRL
Peta jaringan KRL JABODETABEK terbagi menjadi 6 jalur.
1. Jalur Hijau dengan rute Rangkas Bitung/Maja/Parungpanjang/Serpong sampai ke Tanah Abang pp
2  Jalur Coklat yang rutenya adalah Tangerang – Duri pp
3. Jalur Kuning  dengan rute ada dua yaitu Bogor/Depok – Manggarai – Tanah Abang – Duri – Kampung  Bandan – Jatinegara pp kemudian ada rute Nambo – Citayam – Manggarai – Tanah Abang – Duri – Kampung Bandan – Jatinegara pp
4. Jalur Merah yang rutenya Bogor/Depok – Manggarai – Jakarta Kota
5. Jalur Biru yang rutenya adalah Bekasi – Manggarai – Jakarta Kota. Tapi ada juga kereta di jalur ini yang rutenya Bekasi – Jatinegara – Pasar Senen – Kampung Bandan – Jakarta Kota. Pada Oktober 2017 rute ini diperpanjang dari stasiun Bekasi lanjut ke Bekasi Timur - Tambun - Cibitung dan Cikarang. Jadi jangan salah ada rute Jakarta Kota - Cikarang tapi ada juga yang cuma sampai Bekasi.
6. Jalur Pink yang rutenya adalah Jakarta Kota – Kampung Bandan – Ancol – Tanjung Priok pp

Dari semua jalur tersebut ada beberapa stasiun transit yang penting diingat yaitu Manggarai , Tanah Abang, Duri, Kampung Bandan, Citayam, Jatinegara, dan Jakarta Kota
Jadi kalau dari Cikarang mau ke Bogor maka cukup transit di Manggari dan kemudian naik KRL ke arah Bogor. Kalau dari Tangerang mau ke Cikarang maka rutenya bisa transit di Duri kemudian naik KRL ke arah Jatinegara. Transit di Jatinegara lalu naik KRL ke arah Cikarang. Atau bisa juga transit di Duri, lalu naik KRL ke arah Depok/Bogor/Nambo transit di Manggarai dan naik KRL ke arah Cikarang.

Oke, kamu telah sampai di stasiun tujuan. Seperti yang telah ditulis diawal keluar peron stasiun dengan cara Tap Out di pintu elektronik. Jika bingung atau ada masalah jangan malu untuk tanya petugas yang selalu standby disana. Lalu silahkan antre menukarkan tiket / THB kamu ke loket manual atau vending machine, uang 10 ribu per tiket dari pembayaran THB kamu akan kembali. Untuk yang pakai KMT silahkan melanjutkan perjalanan tapi jangan lupa cek saldo ya.
Sekian dulu jalan jalan kita menggunakan KRL.
Hadirnya KRL Di Cikarang

Sabtu, 07 November 2015

Aku Membenci Suamiku

KISAH di bawah ini beredar di berbagai forum, fanpage facebook, dan blog. Saya salah satunya yang 'mengesharenya' dalam blog ini. Entah siapa yang menuliskannya, entah fiksi atau non fiksi, namun satu hal yang pasti, kita bisa memetik pelajaran sangat banyak darinya. Semoga peristiwa di bawah ini membuat kita belajar bersyukur untuk apa yang kita miliki:

Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua, membuatku membenci suamiku sendiri.

Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka.
Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.

Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.
Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya .

Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami.

Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena merasa terjebak dengan perkawinanku, aku juga membenci kedua orangtuaku.

Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi.

Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas.
Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya.

“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut.
Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??”

“Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat, kuatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon.
Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi.
Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu.

Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah.
Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “Selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?” kujawab pertanyaan itu segera.

Lelaki asing itu ternyata seorang polisi, ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.
Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya.

Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis.

Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama.

Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat.

Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar
airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.

Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai.

Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.

Saat pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.

Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu.
Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.

Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana.

Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya.
Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah
karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas.

Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku.

Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya.
Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia.

Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku.
Istriku Liliana tersayang,
Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.

Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang.

Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.

Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke, Buddy!
Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note.

Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.

Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya , tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.

Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?”
Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikanny a atas nama cinta.”
Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?”
Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.”

Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus.

Minggu, 18 Oktober 2015

Blog Apa Ini?

Sebagian orang atau banyak orang, ketika sengaja atau tanpa sengaja masuk ke blog ini, mungkin akan mengerutkan dahinya.
Blog apa ini? Isinya gak jelas gak fokus gak bermutu de-el-el.
Ya seperti judulnya 'aku dan duniaku', blog ini berisi tentang aku dan semua yang ada disekitarku. Yang mungkin saja terasa, terlihat, ataupun terdengar oleh inderaku.
So, gak usah bingung berfikir ini blog tentang apa. Jika ingin baca silahkan. Tidak mau baca, harus baca hehehe.

Selasa, 12 Mei 2015

JIKA TUA NANTI KITA TLAH HIDUP MASING-MASING, INGATLAH HARI INI

Judulnya panjang banget. Yups sebenarnya ini adalah sebuah lirik lagi dari Project Pop, Ingatlah hari ini. Video ini merupakan kumpulan foto-foto bersama teman-teman semua khususnya yang dari Jawa Timur saat sedang merantau di bumi Cikarang. Mengulang kenangan saat-saat indah kita bersama. Video ini saya dedikasikan karena semakin banyak sahabat-sahabat terdekat yang akan kembali ke tempat kelahirannya. Semoga suatu saat nanti kita bisa bersua kembali dalam kebersamaan. Aamiin.

Sabtu, 09 Mei 2015

Setelah Lama Menghilang....................

Lama menghilang dari kegiatan tulis menulis. Jangankan menulis, buka lepi ini aja tak sempat. Entah kebuka berapa kali si hitam ini dalam sebulan. Waktu terasa begitu penuh, banyak rencana, banyak keinginan. Tapi apa daya tak mampu menjalankan itu semua dan akhirnya berantakan. Tidak bisa fokus ( padahal sudah minum a*ua hehe). Semoga beberapa baris kalimat ini jadi foreplay (?????? :-D ) untuk lebih bergairah lagi melanjutkan mision posible.

Minggu, 06 Juli 2014

CAST OF MAHABHARATA


Berikut Para Pemain Di Mahabaharata Versi Star Plus

arjuna

khrisna
kunthi
pandu & madri
pandawa kecil
dhritarastra
bhisma



vidhura
yudhistira

bhima
  
drupadi
pandawa


gandari


satyavati
karna


    • duryudana
      sakuni