|
MENGENANG:
Suatu siang, ketika dia pergi untuk selama-lamanya,
2 Januari 2006
Beberapa hari ini perasaanku terasa lain. Ada yang
mengganjal tak tentu. Entah perasaan apa. Tadi saja aku hampir terlambat
berangkat kerja, gara-gara bangun kesiangan. Semangkuk mie rebus plus telur
berhasil kupaksakan mengisi lambungku. Porsi itu biasa didapat dari sebuah
warung dekat pabrik tempatku bekerja. Lumayan untuk modal energi beraktivitas
hari ini sampai aku mengisinya lagi saat waktu makan siang tiba.
Hari senin, hari yang malas. Bukan harinya. Tapi bagi
kebanyakan orang akan merasakan hal
sama. Mungkin setelah kemarin libur, kemudian bekerja lagi, rasanya harus
mengumpulkan energi dan semangat baru untuk memulai hari. Tapi luruskan saja
niat. Bekerja adalah ibadah. Mengharap ridho Allah. Memang secara realitas
tidak dapat dipungkiri, ujung-ujungnya yang dicari adalah duit. Akan tetapi
kalau hanya duit yang jadi tujuan utama, apa yang terjadi jika duit habis.
Sedang seabreg kebutuhan masih menunggu
untuk segera diselesaikan. Yang tersisa hanya keluh kesah. Menyesali diri.
Pesimis, beserta rentetan penyakit hati yang siap menyiksa diri. Beda kalau
ridho Allah yang dinanti, kita tak akan terlalu kecewa dengan gaji yang kecil,
sementara kebutuhan semakin mencekik. Prestasi yang buruk padahal kita sudah
berusaha bekerja dengan baik. Ada ataupun tak ada atasan. Kembalikan semua pada
Allah. Dia yang lebih tahu apa yang terbaik buat kita. Disamping itu juga
bukankah memenuhi kebutuhan keluarga juga termasuk amal saleh jika dilakukan
dengan benar.
Ada apa dengan hari ini.
Beberapa kali aku melakukan kesalahan dalam pekerjaanku. Sampai sekitar jam dua
sore aku dipanggil atasanku, karena ada telepon untukku. Jarang sekali aku
mendapat telepon ketika sedang bekerja. Keluarga atau teman lebih sering
menghubungi aku melalui ponsel. Tentunya saat sedang tidak bekerja, karena aku
pegawai pabrik yang tentunya menyimpan barang-barangnya termasuk ponsel dalam locker pribadinya. Perlahan telepon
kuangkat setelah menunggu beberapa saat. Didepanku berdiri Pak Amir, staff
supervisor dibagian tempatku bekerja. Ada sorot mata yang aneh.
“Assalamua’alaikum….”.
Aku memulai pembicaraan.
“Wa’alaikum salam…”.
Suara dari telepon terdengar menjawab salamku. Dan aku
kenal suara itu, suara Kang Anto. Kakakku yang bekerja di Jakarta.
“Anjar, kamu bisa pulang
kampung sekarang !?”.
Antara sebuah perintah dan permintaan. Kalimat yang
diucapkan Kang Anto membuat beraneka macam pertanyaan. Bergelantungan didalam
benakku.
“Ada apa…?”
Agak terkejut
aku menjawab. Apa yang terjadi.
“Pulang kampung sekarang,
Bapak meninggal tadi siang”.
Kata-kata kakakku jelas tanpa basa-basi, benar benar
membuat aku limbung. Terlalu umum dengan pepatah bagai petir disiang hari.
Seperti ada beban berat yang menekan kepalaku, dan aku jatuh terduduk dikursi
disamping meja telefon. Sedang tangan kananku masih melekatkan gagang telepon
ditelinga kananku. Bibirku sesaat kelu. Mataku terpejam. Sesak.
“Innalillahi wa inna illaihi rooji’uun”.
Bisikku lirih, lirih sekali. Tak tahu apa ucapanku
bisa terdengar oleh Pak Amir ataupun Kang Anto yang berada diseberang.
”Hallo….hallo…Anjar, istighfar…hallo…”.
Nada suara Kang Anto terdengar khawatir, ketika aku masih diam tak bicara
apa-apa lagi.
“Ya…Kang”.
Aku berusaha
bersuara walau terdengar pelan dan berat. Air mata yang kucoba tahan tak
terbendung lagi, kemudian mengalir menganak sungai membasahi pipi. Pak Amir
memegang pundakku sambil mencoba menghibur.
“Kamu bisa pulang sekarang khan, Kang Anto sekarang lagi beli tiket
bis, naik dari Kali Deres”
“Ya….”.
“Hati-hati…”.
**
Hanya dengan beberapa
pakaian yang aku masukkan dalam tas secara terburu-buru, Aku langsung menuju agen
tempat pembelian tiket bis. Semoga masih ada bis yang menuju Ponorogo sore ini
juga. Dan saat hanya tinggal satu bis kelas VIP yang akan berangkat dari Bekasi
ke Ponorogo, aku tak banyak menawar. Aku hanya ingin cepat pulang. Pulang untuk
melihat tubuh bapak yang terakhir kalinya. Walau mungkin terlambat……
Bis yang aku tumpangi bertolak dari tempat
pembelian tiket tepat pukul empat sore. Padahal jadwal pemberangkatan yang
tercantum pada tiket bis adalah jam tiga sore. Molor satu jam. Suatu hal yang sudah tak asing lagi di Indonesia,
jam karet. Namun ada untungnya juga dengan keterlambatan itu, aku bisa sholat
ashar di mushola kecil di agen bis. Tidak sambil duduk didalam bis, yang
dianggap aneh oleh sebagian orang. Bis tetap melaju. Penumpang yang hanya
separuh isi dan jalanan yang agak lengang tetap mendorong kendaraan terus
menyusuri jalan-jalan beraspal. Semakin
melaju. Pandanganku beredar keseluruh penjuru. Diantara tatap-tatap mata orang
yang sibuk dengan pikirannya masing-masing. Kemudian mataku beralih keluar
jendela. Melihat bangunan-bangunan tinggi, pohon-pohon dan semuanya tampak
berlari menjauh. Aku tak beralih menatap keluar jendela. Mengumumkan duka pada
angin yang berhembus bertubrukan dengan laju bis. Sampai akhirnya semua yang
terlihat mulai tampak suram. Seiring dengan beranjaknya surya menaiki
peraduannya. Semakin riuh dijalan raya. Simpang siur kendaraan berlalu lalang.
Tanpa pernah tahu perasaanku penuh duka.
Deru mesin-mesin kendaraan
yang menyebabkan polusi udara, masih mengoyak kebisingan jalan. Air mata
menetes lagi dari kelopak mata. Padahal aku sudah mencoba menahannya untuk
tidak keluar. Akan tetapi gagal, benda-benda itu terus meluncur melalui pipi.
Dan secepatnya aku akan menghapusnya dengan kedua telapak tanganku, jika
butirannya sampai kepipi. Aku duduk di bangku sendirian. Dan mungkin tak ada
yang melihat air mataku mengalir.
Cirebon, 19.26
Suara deru mesin masih
seperti tadi mengucapkan selamat tinggal pada terang. Malam telah menutup semua pandangan. Seperti
menggelapkan hatiku yang sedang sedih. Kerdip-kerdip lampu malam menghias
ditiap sudut kegelapan. Tapi tak ada yang sedang menghias hatiku. Aku terus mencoba
menahan rasa yang menekan dada, dengan sedikit dzikir-dzikir sepi yang
mengalun. Membumbung keangkasa. Beriring dengan aliran darahku.
Dalam usiaku yang berada didunia selama dua puluh satu
tahun. Aku merasa baru kemarin berada dalam belaian hangat ibu. Dalam peluk
bapak. Bermanja. Namun sekarang semuanya sudah tak ada seperti waktu yang terus
menghilang, tak pernah mau menengok kebelakang lagi. Bapak juga telah pergi,
menyusul ibu yang telah mendahuluinya sembilan tahun yang lalu. Disaat aku
masih ingin bermimpi dalam dekapannya.
Bapak dan ibu telah menghadap kepada Penciptanya. Dan
aku belum bisa berbuat apa-apa untuk berbakti pada mereka. Air mataku setetes
keluar lagi. Kemudian muncul bayangan wajah bapak dan ibu bergantian.
“Ngelamun saja mas….?”.
Sebuah suara yang dibentuk oleh aksen vokal seorang
lelaki membuyarkan segala bayangan yang sempat menghampiri. Sesosok laki-laki
berumur kira-kira tiga puluh tahunan kini duduk disampingku, bangku yang sejak
tadi memang kosong. Aku masih ingat tadi sore, aku sempat melihatnya duduk
dibangku belakang bersama seorang wanita dan dua orang anak kecil. Mungkin
mereka istri dan anak-anaknya.
“Eh, nggak apa-apa kok Mas
!”.
Aku berusaha menyembunyikan kesedihanku.
“Sejak naik bis tadi, saya
lihat Mas itu kok kelihatan sedih terus to
?”.
Katanya ramah,rupanya ada yang melihat kesedihanku.
“Nggak apa-apa kok”.
“Jangan bohong Mas !”.
Lelaki asing itu terus mendesakku.
“Tadi siang, saya dapat
telepon bapak saya meninggal”.
Akupun berkata
jujur pada lelaki itu.
“Innalillahi wa inna
illaihi rooji’uun”.
Laki-laki itu diam sejenak. Memandang kosong. Seperti
ada yang dipikirkan. Tapi aku tak berani balas mengorek keterangan darinya.
“Sudah nggak usah sedih lagi, berdoa saja semoga beliau diterima disisi
Gusti Allah yang sabar ya !”.
Laki-laki itu tersenyum ramah dan menepuk pundakku.
selanjutnya kamipun terlibat pada obrolan-obrolan kecil. Sampai aku sedikit
terhibur agak lupa dengan kesedihanku. Setidaknya untuk beberapa saat.
“Langit gelap banget
mungkin sebentar lagi hujan turun. Ya sudah saya kembali kebelakang dulu ya
Mas, jangan melamun terus”.
Laki-laki yang ternyata bernama Arif itu bangkit dari
duduknya dan kembali bersama keluarganya dibangku belakang. Bangku disampingku
kosong lagi seperti semula. Aku coba melihat keluar jendela. Memang mendung
tampak menggantung dilangit kelam dan siap runtuh menimpa bumi.
Tegal, 21.05
Hawa terasa semakin dingin
dan akupun mematikan tombol ac yang berada diatas tempat dudukku. Kalau sedang
kalut begini biasanya pelarianku adalah mengepul-ngepulkan asap rokok dari
mulut dan hidungku ke udara. Tapi kali ini tak mungkin, aku sedang berada dalam
bis kelas PATAS AC, yang pastinya dilarang merokok. Petir menyambar-nyambar
diiringi suara gemuruh dilangit. Sepintas suasana terlihat terang oleh
cambuk-cambuk alam bertegangan ekstra tinggi. Menyambar memperlihatkan
kekuatannya. Kemudian dari langit setetes demi setetes air berjatuhan semakin
lebat dan deras mengguyur bumi. Seperti yang telah diperkirakan oleh Mas Arif
tadi.
Aku memakai selimut fasilitas bis yang sejak tadi aku
taruh disandaran kursi, kakiku kutarik
keatas kursi dan mendekapnya. Udara dingin menyerang. Padahal mungkin semua
pendingin dalam bis telah dimatikan. Aku mencoba memperhatikan sekelilingku.
Sunyi. Hanya beberapa penumpang saja yang masih ngobrol ngalor-ngidul. Sementara yang lain sudah ada yang terlelap dalam mimpinya. Tak perduli bis
yang tetap melaju menembus jalan beraspal dan hujan lebat. Menggigil dan
kedinginan. Ada juga yang masih terjaga bermain dengan rasa kantuk yang hampir
menguasai dirinya. Sampai ada yang hanya menatap kosong keluar jendela.
Mempermainkan kaca jendela yang berembun oleh air hujan. Seperti apa yang aku
lakukan.
Aku meraih plastik berisi
beberapa kue. Kemudian perlahan menyuapkannya kemulutku bersama beberapa teguk
air mineral yang aku beli dari seorang pedagang asongan yang masuk dalam bis
sebelum bis berangkat tadi sore. Perutku terasa lapar, sejak makan siang
dipabrik belum ada sesuatupun yang masuk mengganjal kantung lambungku. Padahal
kupon makan hanya bisa ditukar ditempat peristirahatan didaerah dekat Semarang.
‘Hati-hati Le, jangan sampai lupa sama Gusti
Allah!’ Kata-kata itu tiba-tiba terngiang kembali. Masih seperti yang dulu saat
aku akan berangkat memulai kehidupanku diluar kota. Wajah tua bapak memerah
seperti hendak menangis. Tubuhnya yang dulu kekar mulai keriput dan kurus
termakan usia. Aku memeluknya erat, setelah sekian lama tak ada dalam dekapnya.
Paling tidak semenjak aku beranjak dewasa. Yang tak perlu bermanja-manja untuk
menghadapi dunia sebagai seorang anak lelaki. Tapi tanpa pelukan itupun
berlanjut dengan kebisuanku. Kebisuan yang kini membuat aku semakin merasa
bersalah. Yaitu, saat bapak berencana menikah lagi diusianya yang akan
mengakhiri kepala empat. Atau tepatnya saat aku duduk dikelas dua es-em-pe.
Waktu itu aku yang paling tidak bisa menerima. Tapi semuanya tak berpengaruh,
toh akhirnya bapak tetap menikah juga dengan wanita pilihannya. Kedua kakakku
yang semula menolak telah mengiyakan.
Hanya aku si bungsu yang tak bisa berbuat apa-apa. Aku tak mau posisi ibuku
digantikan oleh siapapun juga. Bapak menghianati cinta ibuku. Pikirku saat itu.
Tanpa aku pernah mengerti bapak kesepian tanpa seorang pendamping. Apalagi saat
usia senja mulai menghampirinya dan anak-anaknya telah beranjak dewasa. Aku
terlalu egois. Sehingga aku merasa kecewa dengan dengan keputusan bapak. Dan setelah
itu, aku dan bapak seperti ada pembatas maya yang tak terlihat oleh mata. Tapi
tetap terasa. Dia seperti orang asing dimataku. Tak ada kebencian, hanya aku
dan beliau semakin asing. Entah apa aku yang memulai semua keasingan itu. Hanya
sepatah dua patah kata yang terucap bila aku bertemu dengannya. Itupun jikalau
ada hal penting yang memang perlu dibicarakan. Tak tahu kenapa aku menjadi
dingin seperti itu. Dan hal itu berlangsung bertahun-tahun. Tak pernah kusadari
bahwa dulu, akulah sibungsu yang selalu lengket dengan sang bapak. Kemudian,
semua menjadi kaku. Seperti air yang membeku.
Kendal, 00.32
Aku membuka mata lebar,
setelah tadi sempat terkantuk kantuk. Bis agak berguncang merayap pada jalan
yang tak beraspal. Rupanya rombongan kami telah sampai diperistirahatan rumah
makan didaerah Kendal, Jawa Tengah. Kulirik jam tangan yang terpasang ditangan
kiriku. Dalam keremangan terlihat bahwa waktu telah berada tiga puluh lima
menit beranjak dari tengah malam. Banyak penumpang mengeluh. Waktu makan malam
mundur pada dini hari. Mungkin bis terlambat karena jalanan yang licin tersiram
oleh air yang jatuh dari langit. Deras mengguyur bumi. Ya, lebih baik terlambat
daripada harus celaka. Selera makanku hampir hilang. Namun kusempatkan makan
beberapa sendok jatah makanan yang disediakan. Kemudian menuju mushola untuk
mengerjakan sholat jama’ Isya’ dan Maghrib sekaligus.
Yaa Allah terimalah kedua
orang tuaku ditempat yang sebaik-baiknya tempat-Mu. Sayangilah mereka seperti
mereka menyanyangiku diwaktu kecil.
Mataku berair lagi saat
doa-doa aku lantunkan. Aku benar-benar menyesali kehidupanku. Aku tumbuh menjadi manusia yang tak punya bakti
pada orang tua. Aku belum bisa berbuat
lebih. Dan kini aku hanya bisa menyesal
dan tinggal berdoa.
Solo, 02.57
Bis tetap melaju. Memecah
dinginnya pagi yang masih buta. Dendang suara mesin bis pekak, meraung-raung
menyusuri jalan yang basah. Sunyi dalam bis. Mungkin semua orang telah sibuk
dengan alam impiannya masing-masing. Mungkin hanya aku dan si sopir yang tetap
terjaga. Kalau Sopir memang sengaja tidak tidur karena menjalankan tugasnya.
Tapi kalu aku memang belum bisa memejamkan mata. Rasa penyesalan memenuhi
rongga dadaku. Membuat sesak. Hampir dua tahun aku belum sempat melihat wajah
bapak. Hanya kadang aku menghubungi beliau melalui pesawat telepon tetangga
dikampung. Itupun kalau aku sudah sangat kangen. Aku terlalu sibuk dengan
usahaku menjadi orang yang berhasil. ‘Berhasil didunia dan akhirat’, itulah
harapan bapak, yang kerap dikidungkan saat aku kecil. Aku berusaha memenuhinya.
Walau sekarang belum berhasil. Dan lebih tak berhasil ketika menjadi seorang
anak yang tak bisa berbakti pada orang tuanya. Aku tak pernah tahu kenapa aku
tak bisa menunjukkan rasa sayangku pada bapak. Semua tertutup gumpalan salju
yang membekukan hati.
Ya Allah…. Ampuni aku !.
Aku tak pernah membencinya. Aku sangat sayang sama
bapak !.
Ponorogo, 07.20
Bis yang aku tumpangi
memasuki Ponorogo. Kota yang tekenal dengan kesenian khas Reog. Penumpang
tinggal lima orang dan rute bis akan selesai dipemberhentian terakhir di
terminal Ponorogo. Dari Sragen, Klaten, dan Ngawi sudah banyak penumpang yang
turun. Tapi lebih banyak penumpang yang turun di Terminal Purabaya Madiun.
Aku memandangi jalan-jalan yanga tampak dari kaca.
Sudah banyak orang dan kendaraan yang terlihat. Setelah turun dari bis nanti,
aku akan naik ojek untuk sampai dirumah. Karena dengan sepuluh menit perjalanan
motor, rumahku sudah akan tampak dihadapanku.
Didepan sebuah gedung
sekolah yang terletak dijalan raya aku turun dari bis yang telah membawaku dari
Bekasi. Kemudian menyeberang menuju pangkalan ojek. Tapi tiba-tiba sebuah
sepeda motor berkecepatan tinggi melaju kearahku dan menabrakku. Aku terpental
beberapa meter. Motor yang menabrakku tak perduli dan tetap melaju kencang.
Antara sadar dan tak sadar banyak orang yang mengerumuniku. Rasa nyeri terasa
dikepalaku. Dan semua menjadi gelap, gelap sekali dalam pandanganku. Aku tak
ingat apa-apa lagi.
Tubuhku terasa ringan.
Ringan sekali seperti kapas. Melayang-layang terguncang oleh angin. Aku bingung
aku berada dimana. Apakah aku sudah mati. Tempat apa ini. Sayup-sayup kudengar
ada suara memanggilku. Samar, terlihat dua sosok tubuh berbalut kain berwarna
putih bersih. Subbhanallah… itu
adalah bapak dan ibu. Mereka terseyum melihatku. Aku ingin menggapai tangan ibu
yang hendak mendekatiku. Tapi kemudian sosoknya menghilang. Tanpa bekas. Aku
berteriak memanggilnya. Begitu juga saat ingin kuraih tangan bapak. Tubuhnyapun
lenyap. Tanpa tahu kemana perginya.
“Bapak….ibu……”. Aku mencoba memanggil berulang-ulang.
Tapi percuma, Hening tak ada suara sama sekali. Bahkan anginpun tak membisikkan
hembusannya. Perlahan mataku terbuka lebih lebar. Suasana berubah. Aku merasa
ada banyak orang berada disekitarku. Aku memegangi kepalaku yang berbalut kain,
mungkin perban. Masih terasa nyeri dikepalaku.
“Njar, kamu sudah sadar ?”.
Aku menatap lekat asal suara itu. Terlihat sosok Mbak
Ningrum. Kakak sulungku yang merawat bapak. Matanya memerah.
“Kamu baru dibawa pulang
dari ‘puskesmas’ Njar, hanya tinggal menuggu kamu sadar dari pingsan”.
Kualihkan pandanganku keasal suara ini. Kang Anto.
Rupanya dia telah sampai dikampung lebih dulu.
“Bapak…”.
Bisikku lirih. Air mata yang tidak diperintahkan
keluar mengucur dari kelopak mataku. Mbak Ningrum merangkulku dan ikut terisak.
“Sabar ya, Njar !”.
Pelan suaranya disela air mata yang mengalir. Kang
Anto memegangi tubuhku. Air matanyapun menetes, walau dia kelihatan yang paling
tegar. Sejenak suasana mengharu kemudian diakhiri oleh para tetangga yang
menyalamiku.
Sebenarnya
aku ingin sekarang juga mengunjungi bapak yang telah dimakamkan kemarin. Tapi
semua melarang, melihat kondisiku masih lemah. Baru esok paginya aku bisa pergi
ke pemakaman, ditemani Kang Anto dan Mbak Ningrum. Angin semilir menerpa
tubuhku ketika kuayunkan langkah kaki memasuki tempat peristirahatan manusia terakhir
ini. Area yang dipagari oleh pohon-pohon rindang. Makam-makam berjajar tak
beraturan. Ada yang terawat dan ada pula yang tak terawat. Hening. Seolah
tempat ini sebuah tempat yang paling damai. Kami menghampiri sebuah makam yang
masih baru. Diatasnya bertabur bunga-bunga yang masih mewangi bisu. Pada nisan
makam itu terukir sebuah nama. Nama bapak. Sedang disampingnya adalah makam ibu
yang sudah tertidur disitu sejak sembilan tahun yang lalu. Aku jatuh terduduk
memegangi nisan bapak. Aku mencoba tak menangis lagi. Akan tetapi tenaga
benda-benda bening di kelopak mataku itu begitu kuat, hingga ada beberapa tetes
yang jatuh.
Bapak aku pulang !. Batinku tersayat mengingat
semuanya. Terlebih ketidak baktianku selama ini.
“Ya Allah ampuni aku”. Aku
terisak lagi.
Mbak Ningrum dan Kang Anto mencoba menenangkan.
Perlahan kutaburkan bunga-bunga diatas gundukan tanah merah. Rumah bapak dan
ibu. Doa-doa terlantun memenuhi semilir sudut-sudut makam. Ditengah derai -
derai melodi ranting dan daun yang saling bergesekan.
I love you, Dad!
ALLAHUMMAGHFIRLI DZUNUBI WALIWALIDAYYA WARHAMHUMA KAMA ROBBAYANI SOGHIRO