“Kamu tahu Nei,…..”.
Suara Mas Bahri membuat aku kembali dari perasaanku
yang terbang ke masa lalu.
“Aku sangat mencintaimu”.
Mas Bahri meneruskan kalimatnya. Dan sudah tak bisa kuhitung berapa kali
suamiku sudah mengatakan kata-kata itu padaku.
“Kemarin Papa mengatakan
lagi padaku agar aku mau menikah lagi”.
‘Menikahlah Mas, itu yang harus Mas lakukan’.
”Apa aku harus menikah sementara wanita yang aku cintai
tergolek tak berdaya disini”.
‘Ragaku memang tak berdaya, tapi iringan doaku selalu
terlantun untukmu. Untuk anak-anak kita Mas’.
“Satu-satunya wanita yang
telah memenuhi isi hatiku adalah kamu Nei, bangun Nei, aku dan anak-anak
menuggumu”.
Mata Mas Bahri yang terhalang oleh lensa kaca mata
tampak berkaca-kaca. Dan kurasakan pula pipiku basah oleh air mata. Mas
Bahri begitu percaya dengan keajaiban itu. Keajaiban untuk
aku bisa bangun lagi. Berdiri. Menyambut dia pulang kerja. Mengasuh anak-anak.
Saling menyempurnakan peribadatan dunia akhirat, seperti doa pernikahan kami
dahulu. Ya, Mas Bahri begitu yakin, akan tetapi keyakinanku tentang keajaiban
itu telah memudar.
“Papa tadi juga bilang
bahwa berpoligami itu tidak dilarang
dalam islam”.
‘Itu benar Mas. Tentu Mas lebih paham tentang hal
itu’.
“ Mereka juga bilang tak
baik hidup sendiri bagi seorang laki-laki, karena godaan setan bisa saja datang
menjerumuskan”.
‘Itu juga benar khan Mas?’.
Aku terus berkomunikasi dengan suamiku, walau hanya pembicaraan satu arah.
Dan aku harap dia mampu menangkap ungkapan hatiku.
“Yang mereka katakan
semua itu benar dan akupun tahu tentang itu. Jika sekarang aku menikahpun aku
tahu kamu tak akan membenciku. Namun Nei, godaan setan itu tak seberapa
dibanding cintaku pada Allah yang telah memberikan bidadarinya untuk menemani
hidupku”.
Mas Bahri membuat aku semakin trenyuh. Mas Bahri begitu mencintaiku. Kata-kata dalam syairnya
benar. Aku yang paling dicintainya setelah Allah dan RasulNya. Tak ada wanita
lain dihatinya.
‘Menikahlah Mas’. Bisikku.
“Aku tak akan menikah
lagi. Kau ingat pernah meminta padaku untuk tak menikah lagi kecuali jika kau
sendiri yang memilihkan wanita lain untukku. Kau ingat itu Nei, dan aku masih
memegang janjiku itu, walau aku tak pernah berniat menikah lagi setelah kau
hadir dalam kehidupanku”.
Ya Allah, Mas Bahri masih ingat akan janjinya dulu,
saat masa awal pernikahan kami. Dia seorang lelaki yang setia. Segala puji
untuk-Mu ya Allah, Engkau telah menganugerahiku seorang yang tak ternilai
untukku. Seorang yang senantiasa mencintaiku. Walau sekarang keadaanku tak
lebih bagai mayat hidup. Entah bagaimana keadaan tubuhku sekarang. Apa aku
semakin kurus dengan tulang-tulang yang semakin menonjol. Atau aku malah semain
gemuk karena cairan infus yang tak berhenti mengalir ketubuhku. Aku tak pernah
bisa melihat tubuhku. Hanya sesekali Sifa membiarkan aku melihat wajahku
dicermin yang dibawanya saat merawat tubuhku. Wajah yang pucat. Tak ada rona
segar yang terpancar darinya lagi. Apa Mas Bahri masih tertarik dengan wujudku
seperti ini. Bukankah keutamaan seorang istri itu menyenangkan jika dilihat
suaminya. Namun demikian, karena perawatan yang dilakukan Sifa, tak membuatku
terlalu risih saat Mas Bahri berada didekatku.
‘Ya Allah beri aku
kesabaran untuk menjalani segala takdir yang Kau berikan untukku. Aku tak ingin
menyusahkan keluargaku dengan keadaanku seperti ini.
SAMPEL
halaman 121 -123
“Bagaimana menurut Mas, Nyonya Mira itu?”. Tanya sopir
pada Malik yang duduk disebelahnya. Tangannya masih sibuk menyetir.
“Dia perempuan yang baik sekali, dia sudah saya anggap
seperti ibu saya sendiri”.
Malik hanya
menjawab singkat. Matanya menerawang kedepan. Pada lalu lalang jalanan yang
ramai.
“Ha….ha….. Ibu ?”. Laki-laki tua itu tertawa.
“Dia juga perempuan yang sangat menarik diusianya yang
ketiga puluh sembilan, saya saja bisa ngiler
jika memandanginya terus, apalagi kamu yang masih berdarah muda !”.
Sopir tua
itu berkata lagi.
Malik diam,
dia benar-benar tak suka pada arah pembicaraan Pak Amat. Sopir Tante Mira.
Walau sebenarnya apa yang dikatakan Pak Amat memang benar. Tapi dia selalu
berusaha menjaga pandanganya dari perempuan itu. Agar tak ada celah-celah yang
bisa dimasuki setan untuk menggodanya.
“Nyonya itu sangat kaya Mas, dia bisa memberikan apa
saja pada Mas”.
Pak Amat
melanjutkan. Malik hanya tersenyum kecut, tak mengerti maksud kata-kata Pak
Amat.
Mobil berbelok memasuki halaman sebuah rumah mewah.
“Masuklah Mas…!”. Ucap Pak Amat.
“Kenapa sepi begini, mana undangan yang lain ?”. Tanya
Malik bingung. Katanya ada pesta ulang tahun. Tapi tak ada mobil lain di
halaman.
“Sudah masuk saja, kamu sudah ditunggu”.
Pak Amat
menyuruh Malik untuk langsung masuk. Malik melangkah.
“Selamat bersenang-senang anak muda”. Bisik Pak Amat.
Mata Malik
menatap tajam pada Pak Amat. Apa maksud kata-kata sopir itu. Emosi anak
jalanannya sempat muncul. Tapi kemudian dia sadar Pak Amat hanya orang tua yang
kurus kering. Tak usah mengeluarkan jurus, sekali tendang pasti sudah roboh ke
tanah.
Malik disambut gembira didepan pintu oleh Mira. Gaun
malam yang dipakainya benar-benar membuat Malik risih.
“Apa saya datang dihari yang salah ?”.
“Tidak Malik, Tante hanya ingin makan malam denganmu”.
Mira
menuntun Malik keruang makan. Sebuah meja makan telah diatur untuk dua orang.
Lampu dimatikan, hanya dua batang lilin yang menyala. Malik semakin bingung.
Perasaannya tidak karuan. Jantungnya berdebar lebih dari biasanya. Selama makan
Malik diam, hanya sepatah dua patah kata terucap saat Mira bertanya seputar
hidangan dihadapannya. Muka Malik tertunduk, menghindari tatap mata Mira yang
menurutnya sangat aneh.
“Dimana keluarga Tante, suami dan anak-anak Tante ?”.
Malik bertanya tak lebih hanya sekedar basa-basi, mengusir kegundahan dalam
hatinya.
“Kami sudah bercerai dan kedua anakku tinggal bersama
ayahnya”. Mira menjawab dengan cuek tentang basa-basi Malik.
Mira mendekati Malik perlahan, membuat Malik
semakin kikuk.
“Dan putra sulungku seusiamu, Malik”.
Kata-kata
itu membuat Malik agak lega. Karena perempuan yang dipanggilnya Tante Mira itu
menganggap Malik seperti anaknya. Tapi kelegaan itu hanya sebentar. Keringat
dingin keluar dari tubuh Malik, saat Tante Mira menyentuh pipinya. Dan terus
mendekat.
“Aku kesepian Malik, aku ingin kamu membahagiakanku dihari
ulang tahunku ini”. Mira terus mendekat.
Darah Malik mengalir lebih cepat. Jantungnyapun
berdetak lebih keras. Belum pernah dia sedekat ini dengan perempuan kecuali
ibunya dan Fatma, gadis kecilnya. Walau usia Mira dua kali lipat darinya, Malik
juga seorang lelaki yang sudah beranjak dewasa.
kunjungi cara pembeliannya http://www.cakrabuanaku.blogspot.com/2013/07/seindah-langit-biru-wibi-ae.html
kunjungi cara pembeliannya http://www.cakrabuanaku.blogspot.com/2013/07/seindah-langit-biru-wibi-ae.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar