Selasa, 16 Juli 2013

Sampel 'Seindah Langit Biru'



SAMPEL halaman 19 -21



 “Kamu tahu Nei,…..”.

Suara Mas Bahri membuat aku kembali dari perasaanku yang terbang ke masa lalu.

“Aku sangat mencintaimu”. Mas Bahri meneruskan kalimatnya. Dan sudah tak bisa kuhitung berapa kali suamiku sudah mengatakan kata-kata itu padaku.

“Kemarin Papa mengatakan lagi padaku agar aku  mau menikah lagi”.

‘Menikahlah Mas, itu yang harus Mas lakukan’.

”Apa aku harus  menikah sementara wanita yang aku cintai tergolek tak berdaya disini”.

‘Ragaku memang tak berdaya, tapi iringan doaku selalu terlantun untukmu. Untuk anak-anak kita Mas’.

“Satu-satunya wanita yang telah memenuhi isi hatiku adalah kamu Nei, bangun Nei, aku dan anak-anak menuggumu”.

Mata Mas Bahri yang terhalang oleh lensa kaca mata tampak berkaca-kaca. Dan kurasakan pula pipiku basah oleh air mata. Mas Bahri  begitu  percaya dengan keajaiban itu. Keajaiban untuk aku bisa bangun lagi. Berdiri. Menyambut dia pulang kerja. Mengasuh anak-anak. Saling menyempurnakan peribadatan dunia akhirat, seperti doa pernikahan kami dahulu. Ya, Mas Bahri begitu yakin, akan tetapi keyakinanku tentang keajaiban itu telah memudar.

“Papa tadi juga bilang bahwa  berpoligami itu tidak dilarang dalam islam”.

‘Itu benar Mas. Tentu Mas lebih paham tentang hal itu’.

“ Mereka juga bilang tak baik hidup sendiri bagi seorang laki-laki, karena godaan setan bisa saja datang menjerumuskan”.

‘Itu juga benar khan Mas?’.

Aku terus berkomunikasi dengan  suamiku, walau hanya pembicaraan satu arah. Dan aku harap dia mampu menangkap ungkapan hatiku.

“Yang mereka katakan semua itu benar dan akupun tahu tentang itu. Jika sekarang aku menikahpun aku tahu kamu tak akan membenciku. Namun Nei, godaan setan itu tak seberapa dibanding cintaku pada Allah yang telah memberikan bidadarinya untuk menemani hidupku”.

Mas Bahri membuat aku semakin trenyuh. Mas Bahri begitu mencintaiku. Kata-kata dalam syairnya benar. Aku yang paling dicintainya setelah Allah dan RasulNya. Tak ada wanita lain dihatinya.

‘Menikahlah Mas’. Bisikku.

“Aku tak akan menikah lagi. Kau ingat pernah meminta padaku untuk tak menikah lagi kecuali jika kau sendiri yang memilihkan wanita lain untukku. Kau ingat itu Nei, dan aku masih memegang janjiku itu, walau aku tak pernah berniat menikah lagi setelah kau hadir dalam kehidupanku”.

Ya Allah, Mas Bahri masih ingat akan janjinya dulu, saat masa awal pernikahan kami. Dia seorang lelaki yang setia. Segala puji untuk-Mu ya Allah, Engkau telah menganugerahiku seorang yang tak ternilai untukku. Seorang yang senantiasa mencintaiku. Walau sekarang keadaanku tak lebih bagai mayat hidup. Entah bagaimana keadaan tubuhku sekarang. Apa aku semakin kurus dengan tulang-tulang yang semakin menonjol. Atau aku malah semain gemuk karena cairan infus yang tak berhenti mengalir ketubuhku. Aku tak pernah bisa melihat tubuhku. Hanya sesekali Sifa membiarkan aku melihat wajahku dicermin yang dibawanya saat merawat tubuhku. Wajah yang pucat. Tak ada rona segar yang terpancar darinya lagi. Apa Mas Bahri masih tertarik dengan wujudku seperti ini. Bukankah keutamaan seorang istri itu menyenangkan jika dilihat suaminya. Namun demikian, karena perawatan yang dilakukan Sifa, tak membuatku terlalu risih saat Mas Bahri berada didekatku.

‘Ya Allah beri aku kesabaran untuk menjalani segala takdir yang Kau berikan untukku. Aku tak ingin menyusahkan keluargaku dengan keadaanku seperti ini.


SAMPEL halaman 121 -123

“Bagaimana menurut Mas, Nyonya Mira itu?”. Tanya sopir pada Malik yang duduk disebelahnya. Tangannya masih sibuk menyetir.

“Dia perempuan yang baik sekali, dia sudah saya anggap seperti ibu saya sendiri”.

Malik hanya menjawab singkat. Matanya menerawang kedepan. Pada lalu lalang jalanan yang ramai.

“Ha….ha….. Ibu ?”. Laki-laki tua itu tertawa.

“Dia juga perempuan yang sangat menarik diusianya yang ketiga puluh sembilan, saya saja bisa ngiler jika memandanginya terus, apalagi kamu yang masih berdarah muda !”.

Sopir tua itu berkata lagi.

Malik diam, dia benar-benar tak suka pada arah pembicaraan Pak Amat. Sopir Tante Mira. Walau sebenarnya apa yang dikatakan Pak Amat memang benar. Tapi dia selalu berusaha menjaga pandanganya dari perempuan itu. Agar tak ada celah-celah yang bisa dimasuki setan untuk menggodanya.

“Nyonya itu sangat kaya Mas, dia bisa memberikan apa saja pada Mas”.

Pak Amat melanjutkan. Malik hanya tersenyum kecut, tak mengerti maksud kata-kata Pak Amat.

Mobil berbelok memasuki halaman sebuah rumah mewah.

“Masuklah Mas…!”. Ucap Pak Amat.

“Kenapa sepi begini, mana undangan yang lain ?”. Tanya Malik bingung. Katanya ada pesta ulang tahun. Tapi tak ada mobil lain di halaman.

“Sudah masuk saja, kamu sudah ditunggu”.

Pak Amat menyuruh Malik untuk langsung masuk. Malik melangkah.

“Selamat bersenang-senang anak muda”. Bisik Pak Amat.

Mata Malik menatap tajam pada Pak Amat. Apa maksud kata-kata sopir itu. Emosi anak jalanannya sempat muncul. Tapi kemudian dia sadar Pak Amat hanya orang tua yang kurus kering. Tak usah mengeluarkan jurus, sekali tendang pasti sudah roboh ke tanah. 

Malik disambut gembira didepan pintu oleh Mira. Gaun malam yang dipakainya benar-benar membuat Malik risih.

“Apa saya datang dihari yang salah ?”.

“Tidak Malik, Tante hanya ingin makan malam denganmu”.

Mira menuntun Malik keruang makan. Sebuah meja makan telah diatur untuk dua orang. Lampu dimatikan, hanya dua batang lilin yang menyala. Malik semakin bingung. Perasaannya tidak karuan. Jantungnya berdebar lebih dari biasanya. Selama makan Malik diam, hanya sepatah dua patah kata terucap saat Mira bertanya seputar hidangan dihadapannya. Muka Malik tertunduk, menghindari tatap mata Mira yang menurutnya sangat aneh.

“Dimana keluarga Tante, suami dan anak-anak Tante ?”. Malik bertanya tak lebih hanya sekedar basa-basi, mengusir kegundahan dalam hatinya.

“Kami sudah bercerai dan kedua anakku tinggal bersama ayahnya”. Mira menjawab dengan cuek tentang basa-basi Malik.

 Mira mendekati Malik perlahan, membuat Malik semakin kikuk.

“Dan putra sulungku seusiamu, Malik”.

Kata-kata itu membuat Malik agak lega. Karena perempuan yang dipanggilnya Tante Mira itu menganggap Malik seperti anaknya. Tapi kelegaan itu hanya sebentar. Keringat dingin keluar dari tubuh Malik, saat Tante Mira menyentuh pipinya. Dan terus mendekat.

“Aku kesepian Malik, aku ingin kamu membahagiakanku dihari ulang tahunku ini”. Mira terus mendekat.

Darah Malik mengalir lebih cepat. Jantungnyapun berdetak lebih keras. Belum pernah dia sedekat ini dengan perempuan kecuali ibunya dan Fatma, gadis kecilnya. Walau usia Mira dua kali lipat darinya, Malik juga seorang lelaki yang sudah beranjak dewasa. 

kunjungi cara pembeliannya http://www.cakrabuanaku.blogspot.com/2013/07/seindah-langit-biru-wibi-ae.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar